Pendapatnya,
bersepeda di dalam kota saat itu bukanlah soal. Suasana masih mendukung
para pengguna sepeda atau pejalan kaki. Jalan belum dipadati kendaraan
bermotor. Pusat pertokoan seperti Braga masih menghargai ruang bagi
pejalan kaki. Hutan kota pun masih ada. “Bahkan di Taman Maluku, saat
itu saya masih melihat rusa berkeliaran,” kisahnya.
Setengah
abad telah berlalu. Rusa itu lenyap entah kemana. Pejalan kaki
tersudutkan haknya di trotoar. Jalanan berlubang. Papan reklame telah
merangsek kota. Pemandangan menjadi sumpek. Pemuda bersepeda kumbang
tadi bukan mahasiswa lagi. Pria yang bernama Mohammad Danisworo itu
telah menjelma menjadi seorang profesor dan mengajar di ITB, tempatnya
menimba ilmu dulu.
Pengalaman
indah Bandung masa silam begitu melekat dan mempengaruhi warna
arsitektur Danisworo. Filosofinya, hidup di perkotaan perlu berwawasan
lingkungan, fungsional, dan secara visual harus sedap dipandang mata.
Tiga faktor inilah yang hingga sekarang digunakan Danisworo untuk
mengaplikasikan ilmunya di bidang arsitektur. Bahkan, melalui
karya-karyanya, dia dikenal sebagai arsitek perkotaan atau populer
dengan sebutan urban arsitektur.
Filosofi
sebuah kota bagi Danis panggilan singkatnya tak terlepas dari
pengalaman dia bersama dosennya, Prof Hasan Purbo. Purbo memberi
pemahaman kepada Danis bahwa sebuah gedung tak berdiri sendiri. Ada dua
faktor lingkungan yang memberi banyak pengaruh terhadap keindahan
arsitektur itu sendiri, yakni lingkungan fisik dan non-fisik. Lingkungan
fisik, jelas berkisah dengan sesuatu yang tampak seperti beton, pohon,
dan benda lainnya. Lingkungan non-fisik harus mampu menampung secara
sinergi kekuatan sosial dan budaya.
Yang non-fisik ini, menurut Danis, sering dilupakan arsitek masa kini.
Banyak
gedung dan jalan dibangun hanya berorientasi pada mobil saja. Hasilnya?
Jangan salahkan kantung-kantung pedagang kaki lima (PKL) dan pejalan
kaki yang berjalan hampir mepet ke jalan raya. Jangan salahkan pula bila
ada kantung-kantung kumuh di kolong jembatan, bahkan di tempat parkir
gedung pencakar langit muncul komunitas sosial para sopir dan penjual
makanan minuman yang berkesan tak kalah kumuhnya. “Itu semua karena
mereka yang sering dituduh kumuh tidak mendapat tempat dalam rancangan
arsitek kebanyakan. Padahal, jika ditata sejak awal, persoalan klasik
perkotaan seperti itu tidak akan terjadi,” katanya.
Faktor
selanjutnya adalah visual. Tiap karya arsitektur pasti disyaratkan
bercita rasa seni. Enak dipandang atau bahkan dinikmati dengan cara
lain. Faktor visual memegang peranan yang tak kalah penting dan menjadi
penarik hati manusia. “Tapi faktor ini sangat subjektif,” ujarnya.
Faktor
fungsional dalam desain urban juga tak kalah pentingnya. Katanya, untuk
apa membangun sesuatu yang ternyata tidak berguna dan tak sesuai dengan
kebutuhan. Ini akan sia-sia. Jika dilihat tata kota sekarang, banyak
kota seperti di Bandung yang bangunannya kehilangan arti fungsional.
Lihat
saja trotoar sempit nun kumuh yang habis disikat pedagang kaki lima.
Lihat pula tepi jalan yang dikerumuni parkir mobil penghasil asap.
Walhasil, kawasan Kosambi Bandung dan Cicadas misalnya, terkenal dengan
kemacetan dan polusinya. Sejatinya, dalam konsep Danisworo, ruang kota
harus ditata secara harmonis dan tidak terlalu berorientasi pada
penggunaan mobil, misalnya membuat jalan yang lebar dan saking lebarnya,
harus mengalahkan ruang trotoar. Pejalan kaki atau pedestrian perlu
juga diberi hak menikmati karya arsitektur dengan nyaman dan aman.
Selama ini, pejalan kaki selalu tersisihkan haknya. “Menurut saya ini
tak adil,” katanya.
Untuk
itu, Danis memberi resep yang dapat menyenangkan para pejalan kaki.
Dalam konsepnya, lebar trotoar setidaknya berlebar lima meter. Itu belum
termasuk pohon di tengah-tengahnya. Jika konsep ini diterapkan secara
konsisten, kenyamanan bagi semua level kelas sosial akan terjamin. Si
empunya mobil bisa namyan berkendaraan, si pejalan kaki pun semakin
sehat saja karena penghijauan dan ruang yang segar. Pedagang kaki lima
juga leluasa berjualan karena tersedia ruang yang ideal untuknya.
Mewujudkan
trotoar lebar memang tak mudah bagi sebuah kota yang telah terbentuk
dengan trotoar sempit. Tapi bukan berarti menyerah. Salah satu
pengalamannya, Danis dan timnya pernah membujuk para pemilik halaman
rumah di jalan Satrio, Jakarta, untuk merelakan sebagian ruas halamannya
untuk dijadikan trotoar, dan berhasil. Konsepnya, tidak mengambil alih.
Kepemilikan masih di tangan pemilik rumah.
Begitu
pentingnya arti trotoar, menurut Danis, pemilik lahan harus diberi
pengertian yang lebih mendalam. Kalau perlu diberi bonus. Misalnya,
supaya pemilik lahan lebih tertarik, bagi mereka yang menyediakan tanah
untuk ruang publik berupa pelebaran trotoar yang indah, akan diberi
hadiah dari pemerintah berupa pembebasan pajak atau keringanan lainnya.
“Tapi ini baru usulan,” ujar Danis.
Para
pejalan kaki memang mendapat porsi yang cukup besar dalam konsep urban
design yang disodorkan Danis. Sektor formal dan informal layaknya
pedagang kaki lima harus bisa hidup berdampingan tanpa masalah seperti
saat ini. Sektor formal pun dikritisinya. Lihatlah kota-kota besar,
misalnya Bandung. Di sana ada kota yang digempur pesan-pesan iklan atau
propaganda sebuah produk atau jasa. Bandung, yang dulu masih
memungkinkan bagi rusa untuk hidup di taman kota, kini luluh lantak
tanpa aturan jelas. Jalan Juanda, misalnya, dipadati papan reklame.
Billboard di jembatan penyeberangan dipasang dengan seenaknya. Dengan
scenario urban design yang ditawarkannya, Bandung dan juga kota-kota di
Indonesia yang mempunyai permasalah serupa akan tetap indah meski telah
berubah menjadi sebuah kota bisnis yang hiruk pikuk.
Mohammad
Danisworo lahir di Semarang, 2 April 1938. Ilmu arsitekturnya dipetik
dari ITB (1965). Dia juga meraih banyak gelar dari universitas di luar
negeri seperti Special Program in Urban Studies, University of Kentucky,
USA (1966), Master of Architecture, major in Urban Designe, University
of California, Berkley, Amerika (1968), Master of Urban Planing, with
Certificate in Urban Designe, University of Washington, Seatle, USA
(1982). Ia juga meraih gelar Doktor of Philosophy (Ph.D) dari Urban
Environmental Planning, University of Washington, Seatle, USA (1984).
Senior
partner PT Encona Engineering Incorporation ini memang sangat serius
menggarap arsitektur urban. Karyanya yang cukup dikenal, diantaranya
adalah Stasiun Gambir, Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Ngurah Rai, dan
Terminal Pelabuhan Udara Makassar. Dia juga menggarap pembangunan di
bekas lapangan udara Kemayoran, Jakarta Pusat, yang dikatakannya sangat
ideal. Kawasan itu disulap dengan skenario yang menguntungkan segala
lapisan masyarakat: pejalan kaki, pedagang kaki lima dan pengendara
mobil. Kemayoran akan dibuat beberapa blok berdasarkan jalan yang sudah
ada. Di dalam blok itu dibangun gedung-gedung dengan trotoar selebar 10
meter yang akan menjadi dambaan pejalan kaki.
Beberapa gedung atau lokasi strategis dibuat saling berjauhan, jadi memikat setiap orang untuk menjelajah dari satu lokasi ke yang lain. Konsep ini mengingatkan kita pada konsep tata ruang Jakarta yang dicetuskan Soekarno saat membangun Jakarta, seperti penempatan bundaran Hotel Indonesia, Gelora Bung Karno, Monas dan Masjid Istiqlal yang simetris. Penataan seperti itu dipindahkan pula ke kawasan Kemayoran. Dengan demikian, jalan tidak akan sepi. Tetap bernuansa lingkungan dan teduh karena ada sebagian dinding gedung melindungi pejalan kaki dari sengatan matahari. Di antara blok ada ruang publik, tempat para pedagang kaki lima. Di sana juga dibuatkan sesuatu yang menarik pejalan kaki. Konsep ini, menurut Danis, diyakini akan menggoda pengguna mobil untuk memarkirkan kendaraannya dan memilih berjalan di dalam blok yang menyenangkan itu. (TEMPO)
0 komentar:
Posting Komentar